Senin, 09 Januari 2023

MERAJUT HARMONI DALAM PERBEDAAN ( Memahami Multikulutralisme dan masyarakat multikultural)

  ( Memahami Multikulutralisme dan masyarakat multikultural)

sumber : https://image.slidesharecdn.com/multikulturalisme-170427034136/95/multikulturalisme-1-638.jpg?cb=1520097836

Sejarah multikulturalisme 

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Multikulturalisme atau kemajemukan budaya (berasal dari kata "multi" dan "kultural"; yang berarti "budaya yang majemuk")[1] adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan individu dengan individu lain atau perbedaan nilai-nilai yang dianut,[2] seperti perbedaan sistem, budaya, agama, kebiasaan, dan politik.

Definisi 

Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu.[3]

  • “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007)[4]
  • Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).[5]
  • Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)[6]
  • Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)[7]
  • Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).[8]
  • Sejarah Multikulturalisme

    Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.

    Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Afrika pada tahun 1999.[9] Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit.[butuh rujukan] Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Inggris dan Prancis, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan multikulturalisme.[10] Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dan Jerman, dan beberapa negara lainnya.

  • Jenis Multikulturalisme

    Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):

    1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
    2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
    3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
    4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
    5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.[11]



Multikultural di Indonesia 

sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtbqaKKGt7U4zy7IpL1RxAThma3Qyv4ys1fuWSNbM3A78cI2E3tO4yiuO-N_1EOvPdNBdzjGRnrb1aM-pykaVlDA73gUUatZlaeLTr1HEOeGBDQ69-IYSgm3aXGoaz1SdECf2Tcfp5_64/s1600/21.jpg

Sebagai sebuah negara dengan keanekaragaman dalam banyak hal, ditengarai Indonesia rawan terhadap konflik. Konflik adalah suatu hal yang amat niscaya dalam sebuah negara dengan berbagai perbedaan sedemikian itu. Sejatinya—jika saja kita menyadari—perbedaan yang memang sudah ada sejak lama di negara ini, bukanlah suatu hal yang harus dipertentangkan. Justru semua itu merupakan aset bangsa yang mesti disyukuri sebagai sebuah rahmat.

Bangsa Indonesia sudah ribuah tahun terbiasa hidup dalam perbedaan. Masalah SARA telah menjadi menu harian kehidupan masyarakat yang majemuk. Namun toh demikian, hingga sekarang bangsa ini masih tetap utuh berdiri tegak dalam bingkai NKRI. Hal ini menandakan bahwa rakyat Indonesia telah memiliki kesadaran cukup tinggi akan semangat multikulturalisme.

Multikulturalisme berasal dari dua kata, yaitu multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi dapat berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua bagian manusia terhadap kehidupannya yang kemudian melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang juga ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern.Bangsa Indonesia melalui para founding fathers, dengan amat briliant dan dengan kearifantelah lama mencermati dan mengantisipasi adanya berbagai perbedaan tersebut. Mereka telah merumuskan konsep multikulturalsime dalam bingkai nan amat elok melalui semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yangme-ngandung makna yang luar biasa, baik makna secara eksplisit maupun implisit.

Secara eksplisit, semboyan tersebut merujuk pada keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa ini, sebagai sebuah bangsa yang multikultural akan tetapi bersatu dalam satu kesatuan yang kokoh.

Secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” mampu memberikan dorongan moral dan spiritual kepada bangsa Indonesia untuk senantiasa bersatu padu  melawan segala bentukketidakadilan dan rongrongan dari pihak luar yang mencoba mengobok-obok bangsa ini.

Pancasila Sebagai Perekat

Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pancasila adalah sebuah kenyataan sejarah yang tak dapat dipungkiri telah berkontribusi amat besar terhadap keberlangsungan bangsa hingga saat ini. Melalui Pancasila—bangsa Indonesia—dengan sila-sila yang terkandung di dalamnya mampu menampilkan sistesis harmonis antara berbagai keragaman yang ada di negeri ini; pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis, serta ideologi sosial politik.

Pancasila—sebagai sebuah ideologi—oleh karenanya sangat diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang akan menjembatani perbedaan yang ada. Mampu mengakomodasikan seluruh kepentingan kelompok sosial yang multi etnis dan agama. Termasuk membuka diri dalam memberikan ruang berkembangnya ideologi sosial politik yang pluralistik.

Tatkala Indonesia mengalami transisi menuju demokrasi tahun 1998-1999, negara memberi ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengekspresikan identitas ideologis sosial politik yang diinginkan menurut kepentingan masing-masing. Segenap warga bangsa menyambut hal ini dengan penuh semangat dan suka cita, dikarenakan memperoleh kebebasan yang selama ini didambakan.

Dilain pihak muncul kekawatiran sementara pihak hal tersebut akan memunculkan ketegangan dan gesekan antar golongan. Bahkan sementara pengamat Barat meramalkan bahwa bangsa Indonesia berpotensi untuk mengalami “Balkanisasi”.

Kenyataannya hingga saat ini bangsa Indonesia masih kokoh bertahan dengan identitas kebangsaannya sebagai bangsa yang majemuk dengan beragam perbedaan, dan tetap berdiri tegak sebagai negara kesatuan yang berdaulat. Hal ini menunjukkan bahwa multikulturalisme telah lama berakar dan mendarah daging di benak warga bangsa Indonesia.

Landasan Multikulturalisme

Memperhatikan kondisi bangsa Indonesia terkini dan untuk mengatisipasi terjadinya disintegrasi bangsa, tampaknya pemerkuatan multikulturalisme merupakan hal yang mendesak. Pemerkuatan multikulturalisme agar berjalan efektif dan berdaya guna, kiranya perlu berlandaskan pada lima pilar berikut;

Pertama, berpegang pada kebenaran dan berusahamemperjuangkannya. Pengungkapkan kebenaran mesti dalam rangka kebaikan bersama tanpamengorbankan pihak lain. Kebenaran yang dipraktekkan dengan cara demikian akan dapat mengatasi sekat-sekat perbedaan  paham, aspirasi, ras, suku, ideologi bahkan keyakinan agama.

Kedua,melakukantugas dan kewajiban dengan orientasi demi kepentingan dan kebaikan masyarakat, bukan pribadi dan golongan. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya rasa cinta dan sikap patriot terhadap tanah air, bangsa dan negara.

Ketiga,menyebarkan rasa damai setiap saat yang bersumber dari ke-sadaran dan ketulusan. Memiliki visi yang memancarkan kesucian jiwa yangmenghasilkan kedamaian dan kebahagiaan bagi semua. Tiada lagi pe-rasaan iri hati dan dengki, serta bisa memperlakukan semua anak bangsa secara adil tanpa dibayangi ikatan primordialisme.

Keempat,memupuk cinta kasih murni tanpa ego. Berjiwa besar, mengakui persaudaraan antar manusia, memperlakukan semua orang sebagai saudara dan mencintai sesama sebagaimana mencintai diri sendiri.

Kelima, cinta damai dan anti kekerasan. Kekerasan hanya akan me-ngundang munculnya kekerasan baru. Dengan anti kekerasan setiap orang atau kelompok sebagai komponen bangsa ini akan dapat menata diri seca-ra inklusif, mengedepankan penerimaan tanpa diskriminasi, serta menghindari persaingan yang  memicu konfik kepentingan.

Penutup

Perbedaan akan selalu muncul sebagai akibat adanya pluralitas budaya, etnis, sistem nilai dan agama. Perbedaan mesti disikapi dengan dialog demi menemukan titik temu dan konsensus bukan dengan kekerasan atau penghancuran satu dengan lainnya. Dalam konteks ini multikulturalisme relevan untuk diterapkan dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Salam!

sumber :  Kompasiana.com




0 comments:

Posting Komentar